Baca Juga

bimtek-mahasiswa-1
BIMTEK diberikan PT Brantas Abipraya (Persero), perusahaan konstruksi dan balai jasa kontruksi wilayah IV Surabaya, kerjasama dengan Polinema dan  Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Selain itu juga memberikan pembelajaran jarak jauh tenaga Ahli Muda K3 konstruksi.
“Bimtek ini dilakukan sebagai bentuk realisasi program kemitraan bina lingkungan PT Brantas Abipraya (persero). Sasaran pesertanya, pelajar berprestasi, calon pekerja kontruksi dengan persyaratan tertentu. Nantinya, para mahasiswa akan siap mengikuti uji sertifikasi pekerja konstruksi yang diwajibkan untuk pekerja,” tutur Widyo Praseno, Direktur Operasi II, PT Brantas Abipraya (Persero), Selasa (15/05/2018).
Ia melanjutkan, pelaksaan bimtek juga terdorong adanya implementasi UU RI nomor 02 tahun 2017 tentang jasa konstruksi. “Setiap tenaga konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja. Tentunya, hal itu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. Para mahasiswa dipersenjatai dengan kompetensi unggul,” kata Widyo.
“Permasalahan K3 konstruksi seringkali menjadi penyebab banyaknya kecelakaan kerja. Itu dikarenakan rendahnya pemahaman dan pemahaman kepekaan terhadap bahaya dan resiko konstruksi. Ini menjadi salah satu sosialisasi pentingnya tenaga kerja bersertifikasi untuk melindungi tenaga kerja nasional sehingga memiliki nilai tambah,” lanjutnya.
Selain mahasiwa Polinema, beberapa perguruan tinggi  terkemuka di Malang ikut berpartisapsI dalam kegiatan ini. Beberapa di antaranya,  Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Negeri Malang, UIN Malik Ibrahim, ITN Malang, Unisma, Universitas Widyagama, Unmer, Universitas Gajayana, Universitas Tribuwana Tungga Dewi dan Universitas Katolik Widyakarya.
“Para peserta bimtek diberi pelatihan selama 50 jam. Dengan pelaksanaan 8 – 10 jam per minggu. Mengingat, sekitar 8 juta lebih tenaga kerja, baru sekitar 10 persen yang memiliki sertifikat. Padahal itu diwajibkan oleh Undang Undang,” pungkasnya. (ide)

Baca Juga

Panorama-areal-kompleks-_Makam-_Sunan-_Muria-di-lereng-_Gunung-_Muria

Lereng Gunung Muria jadi persinggahan terakhirnya. Sebab Kanjeng Sunan Muria, dalam sejarah hidupnya memang senang tinggal di daerah yang terpencil, jauh dari pusat keramaian. Cara berdawakwahnya cukup unik, yakni terus dan terus bergaul dengan rakyat jelata,sembari mengajarkan beragam keterampilan, khususnya bercocok tanam atau bertani. Kanjeng Sunan Muria, punya klangenan bertani, berdagang dan melaut. Beliau juga sebagai penghubung yang ulung, antara masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan penduduk yang bermukim di perkotaan. Dan, pemikirannya mampu menyatukan umat.
SIAPA sejatinya Sunan Muria? Beliau adalah putra dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ibarat kata pepatah, buah atau daun manakala jatuh, pastinya tak jauh dari pohonnnya. Itulah ungkapan paling pas untuk Kanjeng Sunan Muria. Langkahnya untuk menjadi wali, tak luput dari perjuangan ayahnya yang telah lebih dulu menggeluti ilmu agama sekaligus mensiarkannya.
Kendati banyak kemiripan pola siar agama antara ba-pak dan anak ini, namun jika ditelisik lebih da-lam ada perbedaan yang sangat elemen-ter. Sang bapak, sa-ngat senang mengem-bara hingga namanya banyak dikenal oleh masyarakat. Siarnya lewat gending dan kesenian, seperti wayang kulit.
Tapi sang anak, beda. Kanjeng Sunan Muria tak suka mengembara. Beliau malah senang hidup di daerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk keramaian masyarakat. Nah di tempat terpecil itulah beliau mela-kukan siar agamanya sembari menyelami sekaligus memahami apa sejatinya yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Kanjeng Sunan Muria, sedapat mungkin memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dimana beliau bermukim. Ibu dari Kanjeng Sunan Muria tak lain adalah Dewi Saroh, adik dari dari Sunan Giri sekaligus putri Syekh Maulana Ishak.

Layaknya sang bapak, Kanjeng Sunan Muria juga punya nama kecil, yakni Umar Said alias Raden Prawoto. Adapun nama Muria yang disandangnya merupakan persinggahannya yang terakhir, tepatnya di lereng Gunung Muria, sekitar 18 kilometer jauhnya arah utara dari kota Pati. Di lereng gunung yang sejuk itulah beliau dimakamkan.

Adapun jalan menuju makamnya, berkelok dan menanjak. Peziarah selalu memakai jasa ojek motor manakala akan berziarah ke makamnya. Sumur tua tak jauh dari makamnya, airnya selalu diburu oleh setiap peziarah yang pastinya dengan dengan bermacam keperluan. Keberadaan sumur tersebut, konon dulu airnya selalu digunakan oleh almarhum tak hanya untuk berwudlu. Lebih dari itu, juga digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dan sampai sekarang, sumber air di sumur tua tersebut, meski datang musim kemarau, sumber airnya tak pernah kering.
Kegemarannya tinggal di daerah terpecil kemudian bergaul dengan penduduk, dianggapnya merupakan cara paling baik untuk menyelami pe-mikirannya. Dan di tempat-tempat yang jauh terisolir itu, Kanjeng Sunan Muria dengan sabar dan telaten me-ngajari penduduk beragam keteram-pilan, seperti bertani, beradagang dan melaut.
Nah, disaat-saat mengajarkan beragam keterampilan itulah, Kan-jeng Sunan Muria sembari berdakwah. Hasilnya, pelan tapi pasti dak-wahnya akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Dan daerah yang terpencil, ternyata tak menjadi aral bagi penduduk untuk menjual hasil bumi-nya ke berbagai daerah. Sebab dengan kepintarannya dalam bergaul, hasil bumi atau pertanian penduduk itu lewat jasa Kanjeng Sunan Muria, bisa dibawa sekaligus dibeli oleh pen-duduk dari daerah lain. Hingga men-jadikan roda perekonomian bisa terus berputar.
Kesaktian dan Kekuatan Fisik

Layaknya para wali di era sebelumnya, Kanjeng Sunan Muria juga dikenal sakti mandraguna. Ber-bagai aji kasekten dimilikinya. Seti-daknya terkait dengan kesaktian pu-tra kinasih dari Kanjeng Sunan Kalijaga ini, terbukti saat Kanjeng Sunan Muria mengalahkan Adipati Pethak Warak dari Keling. Dia juga mengalahkan Kapa dan Gentiri yang sama-sama saktinya.

Bab cerita ini termaktup dalam kisah perkawinannya dengan Dewi Roroyono yang tak lain adalah putri dari I Ageng Ngerang, seorang ulama kondang sekaligus alim dari Juwana, yang juga sebagai gurunya.

Kemudian terkait dengan kekuatan atau ketahanan fisiknya, ini terbukti dari kebiasannya yang turun naik gunung Muria tiap hari untuk memberi keterampilan pada para penduduk.

Tradisi yang menurut Kanjeng Sunan Muria yang telah berkembang dan diyakini akan kebenarannya oleh penduduk di suatu tempat, tak pernah dirobahnya. Malah tradisi seperti gamelan, gending-gending, pokoknya beragam jenis kesenian, malah dipakainya sebagai media dakwahnya, yang tentunya dengan mengajari penduduk keterampilan.

Pertanian dan menangkap ikan di laut, menjadi klangenannya. Selain memi-liki kecakapan menghubungkan antara penduduk desa di daerah terpencil, Sunan Muria juga dikenal sebagai sosok yang sangat tinggi penguasaan ilmu tauhidnya.

Selain itu juga ilmu tasawuf serat ilmu fiqih. Kemampuannya dalam berko-munikasi yang mana hasilnya selalu bisa diterima oleh kedua belah pihak yang saling bertikai betapa pun rumitnya masalah tersebut, menjadikan Kanjeng Sunan Muria sebagai penengah yang ulung di Kasultanan Demak, kisaran 1518 – 1530.

Sementara wilayah dakwahnya, me-liputi kawasan Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus. Buah karya Kanjeng Sunan Muria dijadikan simbol di wilayah Pati, Jateng. Yakni, berwujud patung hasil per-tanian dan patung ikan yang menghiasi hampir setiap perempatan jalan protokol di kota itu.*

Baca Juga

kapolda_5_1

Status siaga satu di Jawa Timur pascateror bom di Surabaya dan Sidoarjo telah dicabut oleh Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin, Selasa (15/5/2018).
Kapolda menyatakan, sejak hari ini semua aktifitas sudah berjalan normal.
Demikian juga aktifitas di Mapolda, Mapolres, maupun Mapolsek di seluruh Jawa Timur sudah beroperasi secara normal dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.
"Jadi tidak perlu lagi siaga," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud.
Ia menambahkan, meski sudah mencabut pengamanan di Mapolres dan obyek vital, pihaknya tetap melakukan peningkatan kewaspadaan.
Kapolda juga menyatakan situasi di Surabaya sudah kembali pulih dan normal. Pusat perbelanjaan juga sudah berjalan seperti biasa. Aktifitas masyarakat juga sudah bisa normal.
Untuk itu ia pun mohon doa restu pada masyarakat agar pengungkapan pelaku pengeboman dua hari di Surabaya bisa segera tuntas.
Ia menambahkan, penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 terus berjalan hingga kini. "Kita akan ungkap dan kejar terus sampai tuntas. Densus tetap melakukan penindakan," ujarnya.
Reporter: Fahrizal Tito

Baca Juga

up-holland041415-136-768x512
Pendidikan saat ini menjadi sesuatu hal yang wajib diperoleh oleh setiap manusia. Karena ditinjau dalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, tercantum pengertian pendidikan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Berdasarkan hal itu, pendidikan menjadi sesuatu hal yang sangat penting  untuk dilaksanakan. Setiap orang dapat memaksimalkan semua unsur yang ada dalam pendidikan untuk mengembangkan potensi diri sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kita ketahui bahwa tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah sebabnya mengapa pendidikan menjadi hal yang paling penting bagi setiap manusia. Sangat mulialah tujuan pendidikan di negara kita ini (Indonesia).
Sayangnya, filosofi pendidikan Indonesia dalam praktiknya nyata masih berjalan tidak searah. Seperti yang dirilis oleh KPAI dalam datanya (4 oktober 2017) menunjukkan bahwa ada 26 ribu kasus anak dalam kurun 2011 hingga September 2017. Laporan tertinggi yang diterima KPAI adalah anak yang berhadapan dengan hukum terutama dalam kasus kekerasan. Lebih lanjut, kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh kurangnya pendidikan moral.
Salah satu strategi Menteri Pendidikan menanggapi fenomena ini dengan menerapkan sistem full day school. Di mana adanya penambahan jam belajar dari pagi sampai sore. Hampir ½ waktu yang dimiliki oleh anak-anak dihabiskan di lingkungan sekolah. Meskipun sistem ini belum bisa diterima secara umum namun terlepas dari kontroversial yang ada mengenai kebebasan anak, hal yang terpenting adalah mempertimbangkan kualitas pendidik sebagai poin terpenting dalam pendidikan karakter.
Pendidik, selain memiliki tugas untuk menanamkan ilmu, tentu saja mereka juga mengemban tugas membangun mental, moral dan karakter para pelajar.  Soal mengajarkan karakter/moral tentu saja berbeda ketika ingin mengajarkan teori. Karakter moral itu menyangkut tentang mental/kejiwaan seseorang, sedangkan mengajarkan teori hanya menyangkut tentang pengetahuan yang dimiliki seseorang (taksonomi bloom).
Di samping itu, melihat beberapa praktik pendidikan yang ada, para siswa sudah dituntut untuk mengerjakan soal-soal diluar dari kapasitas yang dimiliki mereka sejak dini, siswa dipaksa untuk memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Dampak yang ditimbulkan, pastinya memberikan beban psikologi. Ada keinginan untuk menghindar ketika berhadapan dengan gurunya, sebab pandangan siswa mengenai seorang guru hanya sebatas evaluator semata. Maka dengan paradigma seperti ini dapat berakhir dengan pandangan permusuhan siswa kepada gurunya. Hal sebaliknya penurunan nilai-nilai moral bisa tersampaikan ketika adanya hubungan emosional antara guru dan siswa agar sesuatu yang ingin disampaikan dapat dengan mudah diterima oleh siswa.
Finlandia sebagai Negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, justru lebih menekankan kesenangan siswa dalam kurikulumnya. Total jam belajar rata-rata hanya 18 jam perminggunya sehingga para siswa yang ada di Finlandia memiliki waktu yang leluasa untuk bermain maupun bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Dibandingkan dengan reformasi pendidikan tahun ajaran 2017/2018 oleh Menteri pendidikan dan Kebudayaan yang menerapkan jam belajar siswa SD Indonesia rata-rata menghabiskan waktu kurang lebih 40 jam. (Kumparan.com 3 mei 2017). Lebih jauh lagi, Pekerjaan rumah yang diberikan dalam sistem pendidikan Finlandia juga sangat diperhitungkan tingkat kesulitannya. Para guru memberikan PR yang tidak berat, bahkan rata-rata dapat dikerjakan dalam waktu 30 menit saja. Intinya mereka ingin para siswa mendapatkan istirahat yang cukup sepulang sekolah, dan dapat melanjutkan aktivitasnya yang lain. Dengan model pembelajaran yang demikian mendapat hasil yang lebih baik, di mana siswa memiliki ruang untuk mengembangkang kreativitas yang dimiliki serta mengasah potensi diri mereka.
Tingginya jam belajar disekolah dalam faktanya beberapa tahun tidak dapat menjamin siswa Indonesia mampu memahami pelajaran dengan baik dan berprestasi seperti yang dilansir oleh TIMSS (trend in internsional mathematics and science study) – kompisana.com. Ditambah lagi dengan standar kompetensi yang tinggi. Dapat mengakibatkan tingginya sikap negative siswa dalam merespon pelajaran sehingga siswa tersebut memiliki motivasi belajar yang rendah. Efek psikologis yang ditimbukan dapat melahirkan kepribadian yang individualis, terfokus pada dirinya sendiri dan melupakan orang-orang yang diluar dirinya.
Poin penting dalam pelaksaan proses pendidikan yang diabaikan dalam pendidikan Indonesia adalah sinergitas antara pendidikan sekolah, pendidikan orangtua atau keluarga, dan pendidikan dalam lingkungan. Dan ketiganya harus berjalan beriringan. Sekolah berperan dalam mengarahkan pendidikan siswanya sesuai dengan capaian oleh Negara. orangtua atau keluarga juga memiliki peran penting dalam hal memberikan stimulus, motivasi, dan pendidikan karakter secara nonformal. Selain sekolah dan orangtua yang memiliki tanggung jawab atas pendidikan, lingkungan menjadi salah satu point penting dalam pengembangan mental dan karakter. Lingkungan yang dimaksud yaitu masyarakat sekitar memiliki tanggung jawab terhadap anak-anak diluar anak mereka sendiri. Dengan kata lain masyarakat berhak memberikan sanksi kepada anak-anak yang melakukan pelanggaran sesuai dengan konsensus yang berlaku. Dengan demikian ini juga membutuhkan penguatan lembaga masyarakat demi terjaminnya kondisi lingkungan yang produktif dan baik.
Terakhir yang perlu diingat dan diperhatikan bahwa esensi pendidikan bukanlah sebuah instrumen untuk bagaimana manusia hidup mewah melainkan bagaimana manusia mampu hidup mudah dan berguna untuk dunia dan zamannya.

Baca Juga

galon
Sarwanya berawal dari tindakan kecil. Meski dilapiki pikiran besar. Itulah yang saya lakukan beberapa bulan yang lalu. Membikin sebentuk kotak amal, terbuat dari galon air yang sudah pecah pantatnya. Semestinya, nasib galon tersebut sudah harus berakhir di tempat sampah. Tapi, saya lalu teringat dengan beberapa kotak amal yang sering diletakkan di berbagai tempat, bertuliskan nama-nama pemilik kotak amal. Mulai dari yayasan panti asuhan, pengajian dasar, masjid, dan lainnya. Di tempat saya, yang juga sekaligus sebagai alamatnya Toko Buku Paradigma Ilmu Makassar, pun terdapat satu kotak amal dari Taman Pendidikan Alquran (TPA) milik masjid dekat mukim.
Walhasil, galon pecah tersebut saya permak seadanya, sekadar menuliskan kata-kata, “Galon Infak Literasi”, lalu saya letakkan di sudut meja kasir Toko Buku Papirus Tamalanrea Makassar, tempat saya bersemedi dan membajak nafkah. Mulanya, ada keraguan. Khususnya motif dihadirkannya galon infak tersebut. Ragu akan begitu banyak penafsiran nantinya. Waima, naluri saya selaku pegiat literasi, membungkam semua keraguan itu. Sebab, hanya satu tujuan dari hadirnya gallon infak itu, menampung sumbangan dari kisanak-kisanak yang berkenan memasukkan duitnya. Selanjutnya, duit yang terkumpul itu, saya belikan buku, buat menambah koleksi buku komunitas literasi yang saya gawangi, Bank Buku Boetta Ilmoe di Bantaeng.
Sekali waktu, ada seorang dokter muda dari Kota Kendari, berbelanja di Toko Buku Papirus. Setelah transaksi, ia tidak langsung pamit. Rupanya, ia tertarik dengan galon di sudut meja, yang isinya bukan air, melainkan aneka uang, pecahan lima ratus, seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dan dua puluh ribu. Warna-warni uang tersebut, mirip aquarium dengan ragam  jenis ikannya. Ia lirik-lirik. Saya hanya senyum-senyum. Tak tahan ia untuk tidak bertanya, “Apa maksudnya Galon Infak Literasi ini?” Belum saya jawab, ia lanjut berkata lagi, “Soalnya, baru kali ini saya temui beginian”.
Ibarat umpan yang ia lemparkan, saya langsung menyambarnya dengan sejumput penjelasan. Bahwasanya, tidak ada bedanya dengan kotak amal lainnya, yang bisa dokter jumpai di seantero kota ini. Mungkin yang unik, karena terbuat dari galon bekas. Dan, itu pun dibikin seadanya. Keunikan lainnya, terletak pada peruntukan kotak amal yang berbentuk galon infak ini, karena adanya unsur literasi. Saya pun membeberkan sari diri saya selaku pegiat literasi, selain menjadi penjaga toko buku. Penjelasan saya menerungku jiwanya, tatkala saya bilang, bahwa semua uang sumbangan ini, akan dibelikan buku, lalu buku tersebut saya kirim ke Bank Buku Boetta Ilmoe, selanjutnya didistribusikan peminjamannya ke berbagai komunitas literasi yang ada di Bantaeng.
Sekadar info, kini, di Bantaeng sudah ada lebih sepuluh komunitas literasi yang amat membutuhkan suplai buku. Lebih dari itu, akan lahir lagi komunitas-komunitas literasi berikutnya. Artinya, kebutuhan akan buku semakin vital. Buku bagi komunitas literasi, bagai nafas yang akan memperpanjang geliat literasi, dari komunitas yang menggerakkan literasi. Lalu saya kunci, komunitas-komunitas ini, tidak sedikit yang berlokasi di pelosok kampung. Kelihatannya ia tertegun dengan ujar-ujar saya. Naluri kedokterannya mungkin terusik, sebab ia sendiri bertugas di pelosok. Lembaran uang biru ia cabut dari dompetnya. Ia masukkan ke mulut galon infak. Tanpa komentar, selain ia berucap, “Terimakasih, saya akan dating lagi”.
Rasa percaya diri saya makin moncer. Keisengan saya ini berbuah manis. Sekadar memanfaatkan barang bekas. Namun, di situlah letak keunikannya. Akhirnya, saya cari lagi galon bekas di mukim. Ada galon yang nganggur. Saya bikin lagi satu galon infak, buat di taruh pada Toko Buku Paradigma Ilmu. Semulanya, pasangan saya keberatan dengan tindakan kecil ini. Apatah lagi, sudah ada kotak amal milik TPA yang mengangkangi meja kasir. Saya bisa memahami keberatannya, pasalnya, ia adalah salah seorang guru mengaji di TPA tersebut, bahkan mukim kami menjadi salah satu alternatif, tempat mengaji santri TPA selain di masjid. Atas otoritasnya, kotak amal itu nangkring di meja kasir.
Saya lalu meyakinkannya, bahwa di Toko Buku Papirus sudah saya bikin. Berceritalah saya akan keberadaan galon infak tersebut. Saya lalu menabalkan pendapat, kotak amal model TPA itu, dan sejenisnya di berbagai tempat, sudah amat konvensional. Tipe itu warisan zaman old, sementara galon infak literasi merupakan inisiasi zaman now. Tersipu-sipulah ia. Restu pun saya dapat. Akhirnya, Galon Infak Literasi, bertengger pula di sudut meja kasir, menemani kotak amal TPA pada sudut meja lainnya. Belakangan, sering saya menguping, tatkala ia mengajar para santri mengaji, sembari ia menjelaskan keberadaan galon tersebut.
Di hadapan para santrinya, pasangan saya bercerita, seolah mendongeng tentang orang-orang di pelosok kampung, yang amat tertinggal, karena kekurangan bahan bacaan. Apalagi, dalam kisahnya, sering ia bandingkan dengan kemudahan para santri membaca buku yang disediakan oleh Toko Buku Paradigma Ilmu. Dari jendela kamar sering saya intip rona wajah sekaum cilik itu. Beraneka air mukanya. Imajinasinya terbang ke pelosok-pelosok kampung. Meski yang diceritakan itu adalah anak-anak yang kurang beruntung, nasib para santri ini tidak lebih beruntung. Karenanya, solidaritas dan empatinya dibangun lewat cerita. Pada pucuk cerita, pasangan saya tak lupa menawarkan kepada para santri untuk berinfak. Seribu, dua ribu. Sesekali ada juga yang lima ribu. Dan, ketika tulisan ini saya torehkan, baru saja seorang santri memasukkan uang lima ribu ke galon infak tersebut.
Sekali lagi, ini hanya tindakan kecil, berlapikkan pikiran besar. Memanfaatkan barang bekas, menggalang uang kecil dari uang kembalian segenap konsumen yang berkenan, para cilik santri yang berempati dengan lembaran ribuannya. Pepatah pun layak diaumkan kembali, “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”. Tumpukan warna-warni pecahan duit di Galon Infak Literasi, sudah mulai membukit. Jika sudah menggunung, akan saya ledakkan gunung uang tersebut. Biar pecahan-pecahan rupiah itu menjadi lahar, menggulung beberapa eksamplar buku, yang akan saya hanyutkan hingga ke muaranya, pada komunitas literasi, Bank Buku Boetta Ilmoe Bantaeng.
Powered by Blogger.
close
Banner iklan disini