Showing posts with label Wisata. Show all posts

Baca Juga

pasar-ramadhan-kauman-jogja


Di Yogyakarta misalnya, terdapat beberapa pasar Ramadhan yang cukup terkenal. Sebut saja Pasar Ramadhan Jogokaryan dan Pasar Ramadhan Nitikan.

Dari beberapa pasar dadakan yang terkenal itu, ada satu pasar yang disebut-sebut sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Pasar Ramadhan Kauman namanya. Pasar yang terletak di sebuah gang sempit dengan lebar sekitar dua meter itu buka sejak sore sampai maghrib.
Sesuai namanya, pasar yang selalu ramai dikunjungi pembeli itu beradaKampung Kauman, Jalan Ahmad Dahlan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, DI Yogyakarta. Meski berada di gang sempit, lokasi pasar ini tak begitu sulit ditemukan. Di depan gang masuk atau tepatnya di pinggir Jalan Ahmad Dahlan terlihat banyak sepeda motor yang terparkir.

Dikatakan Edi, ada 52 pedagang yang berjualan di sepanjang lorong Gang Kauman itu. Menurutnya para pedagang itu tak hanya warga asliKampung Kauman saja. Beberapa pedagang berasal dari luar kampung dan luar daerah. Mereka menjajakan aneka makanan tradisional, sayur dan lauk pauk, minuman dingin, dan makanan basah lainnya. Makanan yang mereka jual harganya berkisar Rp 1.500 sampai Rp 10.000.

Selengkapnya baca > Kompas | foto @astynns (ig)

Baca Juga

Panorama-areal-kompleks-_Makam-_Sunan-_Muria-di-lereng-_Gunung-_Muria

Lereng Gunung Muria jadi persinggahan terakhirnya. Sebab Kanjeng Sunan Muria, dalam sejarah hidupnya memang senang tinggal di daerah yang terpencil, jauh dari pusat keramaian. Cara berdawakwahnya cukup unik, yakni terus dan terus bergaul dengan rakyat jelata,sembari mengajarkan beragam keterampilan, khususnya bercocok tanam atau bertani. Kanjeng Sunan Muria, punya klangenan bertani, berdagang dan melaut. Beliau juga sebagai penghubung yang ulung, antara masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan penduduk yang bermukim di perkotaan. Dan, pemikirannya mampu menyatukan umat.
SIAPA sejatinya Sunan Muria? Beliau adalah putra dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ibarat kata pepatah, buah atau daun manakala jatuh, pastinya tak jauh dari pohonnnya. Itulah ungkapan paling pas untuk Kanjeng Sunan Muria. Langkahnya untuk menjadi wali, tak luput dari perjuangan ayahnya yang telah lebih dulu menggeluti ilmu agama sekaligus mensiarkannya.
Kendati banyak kemiripan pola siar agama antara ba-pak dan anak ini, namun jika ditelisik lebih da-lam ada perbedaan yang sangat elemen-ter. Sang bapak, sa-ngat senang mengem-bara hingga namanya banyak dikenal oleh masyarakat. Siarnya lewat gending dan kesenian, seperti wayang kulit.
Tapi sang anak, beda. Kanjeng Sunan Muria tak suka mengembara. Beliau malah senang hidup di daerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk keramaian masyarakat. Nah di tempat terpecil itulah beliau mela-kukan siar agamanya sembari menyelami sekaligus memahami apa sejatinya yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Kanjeng Sunan Muria, sedapat mungkin memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dimana beliau bermukim. Ibu dari Kanjeng Sunan Muria tak lain adalah Dewi Saroh, adik dari dari Sunan Giri sekaligus putri Syekh Maulana Ishak.

Layaknya sang bapak, Kanjeng Sunan Muria juga punya nama kecil, yakni Umar Said alias Raden Prawoto. Adapun nama Muria yang disandangnya merupakan persinggahannya yang terakhir, tepatnya di lereng Gunung Muria, sekitar 18 kilometer jauhnya arah utara dari kota Pati. Di lereng gunung yang sejuk itulah beliau dimakamkan.

Adapun jalan menuju makamnya, berkelok dan menanjak. Peziarah selalu memakai jasa ojek motor manakala akan berziarah ke makamnya. Sumur tua tak jauh dari makamnya, airnya selalu diburu oleh setiap peziarah yang pastinya dengan dengan bermacam keperluan. Keberadaan sumur tersebut, konon dulu airnya selalu digunakan oleh almarhum tak hanya untuk berwudlu. Lebih dari itu, juga digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dan sampai sekarang, sumber air di sumur tua tersebut, meski datang musim kemarau, sumber airnya tak pernah kering.
Kegemarannya tinggal di daerah terpecil kemudian bergaul dengan penduduk, dianggapnya merupakan cara paling baik untuk menyelami pe-mikirannya. Dan di tempat-tempat yang jauh terisolir itu, Kanjeng Sunan Muria dengan sabar dan telaten me-ngajari penduduk beragam keteram-pilan, seperti bertani, beradagang dan melaut.
Nah, disaat-saat mengajarkan beragam keterampilan itulah, Kan-jeng Sunan Muria sembari berdakwah. Hasilnya, pelan tapi pasti dak-wahnya akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Dan daerah yang terpencil, ternyata tak menjadi aral bagi penduduk untuk menjual hasil bumi-nya ke berbagai daerah. Sebab dengan kepintarannya dalam bergaul, hasil bumi atau pertanian penduduk itu lewat jasa Kanjeng Sunan Muria, bisa dibawa sekaligus dibeli oleh pen-duduk dari daerah lain. Hingga men-jadikan roda perekonomian bisa terus berputar.
Kesaktian dan Kekuatan Fisik

Layaknya para wali di era sebelumnya, Kanjeng Sunan Muria juga dikenal sakti mandraguna. Ber-bagai aji kasekten dimilikinya. Seti-daknya terkait dengan kesaktian pu-tra kinasih dari Kanjeng Sunan Kalijaga ini, terbukti saat Kanjeng Sunan Muria mengalahkan Adipati Pethak Warak dari Keling. Dia juga mengalahkan Kapa dan Gentiri yang sama-sama saktinya.

Bab cerita ini termaktup dalam kisah perkawinannya dengan Dewi Roroyono yang tak lain adalah putri dari I Ageng Ngerang, seorang ulama kondang sekaligus alim dari Juwana, yang juga sebagai gurunya.

Kemudian terkait dengan kekuatan atau ketahanan fisiknya, ini terbukti dari kebiasannya yang turun naik gunung Muria tiap hari untuk memberi keterampilan pada para penduduk.

Tradisi yang menurut Kanjeng Sunan Muria yang telah berkembang dan diyakini akan kebenarannya oleh penduduk di suatu tempat, tak pernah dirobahnya. Malah tradisi seperti gamelan, gending-gending, pokoknya beragam jenis kesenian, malah dipakainya sebagai media dakwahnya, yang tentunya dengan mengajari penduduk keterampilan.

Pertanian dan menangkap ikan di laut, menjadi klangenannya. Selain memi-liki kecakapan menghubungkan antara penduduk desa di daerah terpencil, Sunan Muria juga dikenal sebagai sosok yang sangat tinggi penguasaan ilmu tauhidnya.

Selain itu juga ilmu tasawuf serat ilmu fiqih. Kemampuannya dalam berko-munikasi yang mana hasilnya selalu bisa diterima oleh kedua belah pihak yang saling bertikai betapa pun rumitnya masalah tersebut, menjadikan Kanjeng Sunan Muria sebagai penengah yang ulung di Kasultanan Demak, kisaran 1518 – 1530.

Sementara wilayah dakwahnya, me-liputi kawasan Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus. Buah karya Kanjeng Sunan Muria dijadikan simbol di wilayah Pati, Jateng. Yakni, berwujud patung hasil per-tanian dan patung ikan yang menghiasi hampir setiap perempatan jalan protokol di kota itu.*

Baca Juga

PENINGGALAN MAJAPAHIT DI MADIUN ( PEMBELAJARAN SEJARAH )


Baca Juga

IMG-20170423-_WA0017
Pacitan rupanya tidak hanya memiliki tempat wisata pantai dan goa saja. Ada destinasi susur kali (menyusuri sungai) siap menyambut wisatawan yang suka dengan alam.
Salah satunya, susur Kali (sungai) Cokel di Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Wisata susur Kali Cokel ini bisa menggunakan sampan (perahu kecil).
Susur Kali Cokel dengan sampan merupakan spot wisata yang lagi hits saat ini. Sebelum perjalanan dimulai, para wisatawan harus mematuhi peraturan yang dibuat pengelola wisata.
Yakni, semua penumpang harus menggunakan pelampung. Hal ini wajib, karena untuk menjaga keselamatan penumpang jika ada kecelakaan seperti sampan terbalik dan wisatawan tidak bisa berenang.
Wisatawan akan dibuat takjub dengan menyusuri muara Kali Cokel sejauh kurang lebih 2 km. Mata pengunjung nantinya akan dimanjakan dengan nuansa alam yang masih perawan.
Air sungainya sangat biru jernih, serta hutan-hutan di sepanjang sungai yang terjaga dengan baik. Belum ada tangan jahil yang menghiasinya.
Perjalanan makin mengasyikan, saat wisatawan mulai dibawa menuju lautan lepas.
Disini, para pengunjung akan dipompa adrenalinnya, karena sampan yang hanya maksimal diisi 5 orang harus melawan ombak menuju tepian laut.
Tapi itu tak lama, karena rasa deg-degan akan dibayar dengan nuansa indah. Setelah di lepas pantai, pengunjung akan mendapati perairan selatan Pulau Jawa ini penuh dengan gugusan pulau-pulau kecil di tengah laut. Hal ini akan manjakan mata para pengunjung.
"Saya senang sekali, tidak sia-sia ke sini. Walaupun perjalanannya cukup jauh, tapi murah meriah. Hanya Rp 17 ribu," kata Renggo Andika salah satu pengunjung.
Ia mengatakan, matanya sangat dimanjakan, karena di wisata susur Kali Cokel langsung bisa melihat lautan lepas dan gugusan pulau-pulau.
Pengunjung lainnya, Nanik, mengaku awalnya takut. Apalagi setelah melewati muara harus melawan ombak.
"Antara wow dan deg-degan campur jadi satu. Saya pengen nyoba lagi nanti bisa dengan teman. Pasti banyak yang mau," tambah Nanik.
Reporter: Mita Kusuma

Baca Juga

110518-wahana-coban-talun
BATU - Pengambangan potensi wisata desa berbasis masyarakat di Kota Batu terus tumbuh dan berkembang. Masyarakat tidak hanya menjadi penonton keramaian wisatawan yang datang ke Kota Batu, tapi masyarakat juga sebagai pelaku wisata yang dapat meningkatkan perekonomian warga.
Saat ini sektor pariwisata sangat potensial untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Beberapa wisata alam berbasis masyarakat yang tengah dikembangkan antara lain, Coban Talun, Coban Putri dan Gunung Banyak.Wisata tersebut dikelola melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) bersama Perhutani.
Koordinator Wisata Coban Talun, Samsul Huda mengatakan, wisata alam Coban Talun yang berada di Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini mulai dkembangkan masyarakat dibawah LMDH Wonolestari Sejah sejak tahun 2017 lalu.
"Pengembangan wisata berbasis masyarakat di Coban Talun memang baru satu tahun ini. Namun pengembangan wisata dikhususkan yang berbasis masyarakat dengan tujuan peningkatan ekonomi warga desa. Sehingga investor tidak diperbolehkan masuk," ujar Samsul kepada Malang Post.
Ia menjelaskan, di kawasan Coban Talun memiliki delapan wahana wisata yang dikelola masyarakat, diantaranya wisata 1000 Oyot, Ayunan, Omah Pagupon, Alas Pinus, Omah Terbalik, Kebun Bunga dan Gua Jepang. Sementara untuk Omah Apache dikelola pihak ketiga.
Misalnya objek Wisata Coban Talun (Oyot), menjadi salah satu wahana wisata yang dikelola lebih dari 100 kepala Keluarga. Itu diungkapkan oleh pengelola Oyot, Suhari yang mengatakan bahwa Oyot menjadi satu-satunya objek wisata yang dikelola oleh warga, atau berbasis masyarakat.
"Dibawah LMDH Wonolestari Sejahterah, Oyot salah satu objek yang merupakan usaha masyarakat RW 15, Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo. Dengan pembangunan selama enam bulan sejak Mei dan mulai dibuka tanggal 13 Desember 2017 lalu," ungkap Hari.
Objek wisata alam seluas 1 hektar ini, dalam pembangunannya diperoleh dari swadaya masyarakat.
"Sehingga tidak ada pihak lainnya atau investor yang masuk. Itu karena kami tidak ingin hanya menjadi penonton di desa kami sendiri," ungkapnya.
Ia menerangkan, jika pengembangan Oyot masih terkendala. Itu karena semua SDM masih belajar dan semua pegawai dari warga RW 15. 166 saham terdiri dari  90-100 orang KK yang ikut bergabung dengan ivestasi tiap saham senilai Rp 5 juta.
"Untuk warga RW 15 yang mau ikut berinvestasi kita tidak memaksa. Tercatat dari 167 KK sekitar 100 orang yang ikut. Perlu diketahui juga satu saham bisa dibagi dua sampai tiga orang," imbuhnya.
Sedangkan untuk pembagian hasilnya, Hari mengatakan, hingga jangka waktu dua tahun kedepan pihaknya masih melakukan pengembangan. 
"Untuk bagi hasil belum ada sampai dua tahun nanti. Karena hasil dari penjualan tiket masuk dan beberapa wahana yang ada digunakan untuk pengembangan Oyot," bebernya.
Untuk pembagian hasil dari tiket masuk sebesar Rp 5 ribu tiap bulannya mendapat 64 persen. Sedang untuk pajak 10 persen, PHT KPH Malang 20 persen, TPU 2 persen, Desa 2 persen dan Kopkar 2 persen. 
Begitu juga dengan wisata alam Coban Putri di Dusun Tlekung, Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wonoasri, Coban Putri. Sama seperti seperti Coban Talun, pengembangan dan peresmian baru berjalan satu tahun ini. (eri/aim)
Powered by Blogger.
close
Banner iklan disini